Ternyata kenangan yang membuntuti diri manusia secara perlahan, mendekati kebahagiaan atau memilih untuk menyedihkan untuk menjalaninya. Pertemuan di halte itu menjadi awal pecakapan-percakapan berikutnya, di bulan-bulan berikutnya. Tapi, apakah akan terus berlanjut seperti kenangan yang terus melekat pada diri manusia?
“Keyla
ya,,” ucapnya sambil menjulurkan tangan, meminta untuk berjabat.
Ku
geser posisiku, untuk menjabat uluran tangannya. Tak terpikirkan untuk
melihatnya lebih jelas pada saat hujan turun di sore ini. Aku yang tidak begitu
tertarik dengan isu-isu yang dibahas orang-orang di kelas ternyata sosok itu
ada di hadapanku saat ini.
Mengulurkan
tangannya.
“Ada
apa yaa,” kataku sambil menggeser barang-barang yang sedari tadi menjadi pameran
pendukung kami di halte.
“Seriusan
gak inget?” dengan posisi memastikan kaca helmnya terpasang kembali agar tidak
terkena air hujan. Seakan masih berusaha mengingat memori sebelumnya.
Ku
coba mengingat kembali, rangkaian acara apa yang kemungkinan bersamanya. Acara nikahan
atau kampus yaa.. PJ konsumsikah? PJ acarakah? Atau PJ akomodasi yaa.. atau
jangan-jangan dia yang sering kena omelku dan kusuruh-suruh. Pikirku dalam hati
memaksa melawan kepikunan yang dialami.
Tatapannya
masih berfokus sama telepon selulernya yang
sedang dipeganginya.
“Eh
kalo lagi ujan gini pantrang ngaktifin apalagi maen hp” kataku seakan
memberikan saran positif saat hujan agar tidak mengoperasikan telepon seluler
lebih dulu. Alih-alih menghindari peristiwa yang di luar kendali manusia.
Tak
berselang lama, ia lap telepon selulernya yang terkena cipratan air hujan, lalu
menggantinya ke mode senyap dan memasukannya ke ransel yang sedari tadi
peganginya.
“Masih
percaya yaa sama mitos turun temurun?” timpalnya dengan nada sedikit tertawa
tanpa kerenyahan. Melepaskan helm retro yang sedari tadi dipakainya,
menyimpannya di samping kakiku.
Bukan Cuma mitosnya sih, justru yang
ditakutin karena posisi kita satu tempat. Kan gapapa menghindari kemungkinan
yang terjadi. Yaelaah.
Tapi
ku hanya berani di dalam hati.
“Oiya
Key, kita pernah seacara loh” katanya, masih berusaha mengingat acara apa yang
pernah kita kerjakan secara tim. “Waktu itu kalo gak salah yaa, di daerah
Cisarua, Keyla ponakannya Aiko kan?” seakan sampai finish dia berhasil
mengingat.
Jawaban
yang telak, yang sulit kuhindari dan mengada-ada.
“Oohh
acara kawinan kakaknya Aiko yaa, siapanya ka Andre yaa” timpalku dengan raut
wajah tidak percaya akan bertemu di waktu yang kurang bersahabat ini diiringi
bunyi tetesan air hujan dari atas langit.
“Kenalin
aku Rio yang pernah jadi groomsmen di
acara kakanya Aiko ” katanya sambal menjulurkan tangannya untuk yang kedua
kalinya.
Nyatanya,
ku tak berhasil mengingat acara yang pernah dilakukan bersama atau kepanitiaan
yang pernah dikerjakan. Dugaanku salah, pantas saja tidak berhasil mengingat
siapa yang pernah ku omeli dan kusuruh-suruh. Terlalu rapi dan cukup untuk
tidak begitu tertarik dengan dunia hiruk pikuk kampus.
“Ohh
teman kampusnya Ka Andre? Ku kira kita pernah sepanitia di acara apa, ternyata
dugaanku gagal” jawabku sambil menahan tawa.
Hujan
membersamai kita sore itu. Saat hujan turun si seseorang yang memakai helm
retro dan si perempuan yang membawa barang-barang bejibun.
Sore
itu, rintikan suara air hujan yang turun membasahi bumi menemai riak-riak
sisa-sisa daun kering menuju selokan dengan tenang.
Sore
itu, ojek-ojek yang dengan lalu lalang mencoba untuk rehat sejenak
menghilangkan kepenatan jalanan raya.
Dan,
sore itu awal percakapan pertama yang tidak terduga dibuat skema..
bersambung...
Komentar