Mengejar Impian
sumber gambar : rumahnarasi.blogspot.com
Novel
ini mengisahkan tentang seorang pemuda bernama Alif Fikri asal Kampung Liliput
di pinggiran Danau Maninjau, Bayur, Sumatera Barat. Ayahnya seorang guru
matematika di madrasah dan amak (ibu)
seorang guru sekolah dasar. Karena amak-nya menginginkan anak lelakinya menjadi
seorang pemimpin agama, Alif masuk sekolah agama. Keinginan kuat sang amak
membuat Alif mengubur impiannya. Ia bercita-cita melanjutkan pendidikan ke SMA
dan kuliah di ITB bersama sahabatnya, Randai.
Dengan niat setengah hati, Alif
akhirnya memutuskan untuk mengikuti keinginan amak-nya. Akan tetapi, ia tidak
ingin masuk madrasah di Sumatera Barat. Alif memilih belajar di Pondok Madani
yang terletak di Jawa Timur. Hal ini karena informasi di Etek-nya (bibi) kalau anak-anak lulusan Pondok Madani banyak yang
sukses dan bisa sampai ke Mesir. “Semoga pilihanku tak salah,” kata Alif.
Alif menempuh jarak yang jauh dari
Sumatera Barat ke Jawa Timur menggunakan bus akhirnya sampai juga Alif di
tempat tujuan. Ia lulus ujian dan diterima sebagai murid di Pondok Madani.
Begitulah akhirnya, Alif tinggal di pesantren dan hari-hari yang dilaluinya
hanyalah belajar, belajar, dan belajar. Belum lagi kegiatan malam, hafalan,
pidato, dan banyak lagi kegiatan yang begitu menguras otak. Bahasa sehari-hari
yang dipergunakan adalah bahasa Arab dan bahasa Inggris. Jika siswa didapati
menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah, hukuman tanpa ampun akan
mereka dapatkan. Meskipun butuh proses dna waktu, akhirnya semua itu bisa
terlaksana karena terbiasa. Untuk mandi dna makan, selalu saja ikut antrean.
Tak jarang, waktu terbuang oleh siswa meskipun dalam antrean disempatkan
membaca buku.
Dalam novel ini, diceritakan
persahabatan enam murid Pondok Madani, yaitu Alif, Raja, Atang, Baso, Dulmajid,
dan Said. Alif sangat kompak dengan lima teman seperjuangannya di Pondok Madani
yang berbeda asal. Atang asal Bandung, Raja asal Medan, Said asal Surabaya,
Dulmajid asal Madura, dan Baso asal Gowa. Meskipun berbeda suku, mereka selalu
saja kompak dan ke mana-mana bersama. Mereka memiliki keahlian yang berbeda,
karen itu mereka selalu melengkapi antara kekurangan yang satu dengan yang
lainnya. Susah senang selalu mereka lalui bersama-sama.
Kata ampuh yang menjadi pedoman
mereka untuk teta selalu semangat, yaitu “man
jadda wajada” siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan sukses. Meskipun di
hari pertama mereka sudah mendapatkan hukuman, hal itu tidak mematahkan mereka
untuk menuntut ilmu. Alif terkadang selalu goyah karena keinginan untuk
menggunakan seragam abu-abu selalu saja membuat ia patah semangat untuk
belajar. Hal ini ditambah lagi dengan cerita-cerita menarik dari sahabatnya,
Randai, membuat ia semakin cemburu. Akan tetapi, keihklasan membuat ia semangat
menjalani hari-harinya di pondok.
Tempat tongkrongan (berkumpul)
favorit mereka untuk mendiskusikan cita-cita dan kehidupan mereka sehari-hasi
adalah di kaki menara Masjid Jami Pondok Madani. Di sini lah mereka selalu
berkumpul sambil menunggu waktu magrib tiba. Sampai-sampai mereka dijuluki
Sohibul Menara.
Ketika ujian akhir kelas 6, Baso
harus mengikhlaskan dirinya untuk tidak mengikuti ujian karena neneknya sedang
sakit. Berpisahlah mereka dengan Baso yang kembali ke kampung halaman untuk
mengabdi kepada neneknya setelah kedua orang tuanya meninggal. Selanjutnya,
Baso menjadi guru serta melanjutkan hafalannya dengan seorang ustaz di kampungnya. Ia menghafal Al Quran sebagai
tanda patuh kepada kedua orang tuanya yang sudah tiada.
Sebelas tahun kemudian, mereka
bertemu di kaki menara Trafalgar Square,
London. Sebuah awan yang selalu mereka angankan adalah negara-negara yang
mereka kagumi dan impikan akhirnya dapat mereka raih dengan usaha dan kerja
keras. Atang sudah delapan tahun tinggal di Kairo menjadi mahasiswa Program
Doktoral Ilmu Hadis, Al Azhar. Raja sudah satu tahun di London. Ia telah
menyelesaikan kuliah hukum Islam S1 di Madinah. Sementara itu, tiga sahabatnya
di Indonesia juga sukses dengan jalan hidupnya masing-masing. Dulmajid mendirikan
sebuah pondok di Surabaya. Said meneruskan usaha keluarganya. Baso, anak yang
pintar itu mendapatkan beasiswa di Arab Saudi dengan modal hafal Al Quran.
Apa yang menjadi impian mereka “kun fayakun”, semua menjadi nyata.
Karena siapa yang bersungguh-sungguh, pasti akan berhasil. Itulah pedoman
mereka ketika berada di Pondok Madani.
Keunggulan novel Negeri 5 Menara
adalah amanat cerita yang terkandung dalam rangkaian kisah persahabatan yang
kokoh enam pemuda siswa Pondok Madani. Dengan kata lain, kisah persahabatan
tersebut, mengungkapkan nilai-nilai kebersamaan dan semangat menuntut ilmu,
menggapai mimpi, cita-cita dna harapan di masa yang akan datang. Di samping
itu, persahabatan yang baik pada hakikatnya akan menjadi kekuatan untuk saling
mengisi kelemaham. Persahabatan yang kokoh akan menjadi landasan untuk
menggapai cita-cita dan harapan.
Berbeda dengan kehidupan remaja pada
umumnya, keunggulan novel ini mengisahkan pengabdian dan sikap hormat anak
kepada ayah, ibu, serta keluarga tervinta dengan memenuhi harapan-harapan
mereka. Memenuhi harapan orang tua bagi mereka adalah sumber berkah dalam
mencapai kesuksesan hidup.
Novel ini pun memberikan pelajaran
hidup bagi para remaja khususnya, bahwa segala keinginan, mimpi, harapan, dan
cita-cita dapat diraih dengan kerja keras dan kesungguhan. Selain itu,
kesuksesan dalam hidup memerlukan perjuangan. Berjuang untuk tetap fokus dengan
apa yang sedang dikerjakan.
Novel Negeri 5 Menara sangat baik
untuk dibaca oleh para remaja yang sedang mencari jati diri. Pesan moral dalam
novel ini dapat menjadi inspirasi bagi mereka bahwa kesuksesan yang diraih
adalah restu dari orang tua tercinta. Restu orang tua laksana lautan berkah
bagi setiap anak. Selain itu, kisah dalam novel ini pun memberikan inspirasi
bagi para remaja tentang persahabatan yang memiliki pengaruh positif.
Kesuksesan dari mimpi, harapan, dan cita-cita. Selanjutnya, mimpi tersebut
diwujudkan dengan kerja keras, doa, dan restu orang tua.
Komentar