Sikap Kebahasaan Para Pemimpin
Selang beberapa bulan setelah pelantikan presiden, rasanya minim sekali informasi kebaikan yang diinfokan di media. Rakyat dibuat bingung, dipaksa harus menerima segala keputusan yang banyak diperuntungkan kepada kaum penguasa. Dari elemen bawah hingga atas, para wakil yang dipilih masyarakat selalu menyampaikan komentar nirempati kepada masyarakat. Banyak mirisnya dan banyak malunya dengan banyaknya isu yang tersebar saat ini. Segala keputusan yang minim komunikasi, kebijakan yang disembunyi-sembunyikan, komentar yang nirempati, dan segala bentuk sikap yang tidak menunjukan sisi kebaikan mana pun.
Sikap berbahasa yang perlu dimiliki seorang pemimpin perlu
bijak dalam melontarkan perkataan yang akan diserap oleh masyarakat. Terhindar dari
fitnah, rasa ketersinggungan yang menimbulkan meluapnya amarah masyarakat. Ternyata,
ranah komunikasi ini minim sekali dimiliki oleh para pemimpin kita saat ini di
era yang padahal sudah sangat modern sekali. Padahal berbicara tanpa berpikir akan
berujung kepada sisi negatif dari ranah pembicaranya dalam sisi yang buruk. Kok
bisa sih? Sekelas juru bicara wakil rakyat dan perwakilan dari sekelompok
masyarakat yang memilihnya tidak dapat menyaring kosakata yang akan diucapkan. Hmm
Sebagai masyarakat wajar memiliki sikap berharap kepada
seseorang yang dipilihnya untuk membentuk suatu ekosistem yang baik. Baik dari
segi sistem, lingkungan sosial, ekonomi, kesehatan, trasnportasi publik,
pendidikan, hingga dalam bentuk elemen terkecil. Bukankah itu sudah menjadi
keharusan? Ya, membela masyarakat yang sudah memilihnya. Ada sisi yang hilang
dan lupa tidak diterapkan oleh masing-masing individu di sini.
Qalbu dan iman kepada amanah yang sudah ditransferkan secara
lisan kepada mereka. Sebagai suara terbanyak di ranah demokrasi, masyarakat menjadi
pemegang kuasa penuh yang bebas menyuarakan pendapat. Tak perlu risih jika
masyarakat menjadi berisik. Sebab itu teguran secara naruliah di dunia sebelum penagihan
itu terjadi di alam sana. Ketamakan dan keserakahan ternyata terbukti dapat
menutupi rasa empatinya kepada masyarakat.
Beberapa perkara di negeri ini ada campur tangan suatu
kelompok yang sulit untuk menerima komentar masyarakat. Bisa jadi secara perlahan
untuk menghapuskan sistem demokrasi. Saat ini masyarakat dibuat kebingungan terus,
dipaksa untuk terus beristigfar, dan berserah. Seakan negeri ini menjadi ladang
untuk berserah dan bersabar untuk terus menerima selalu semua kebijakan. Padahal
tidak sama sekali menguntungkan masyarakat sebagai pemegang demokrasi utama.
Jika terus seperti ini, padahal negeri ini akan terus dihuni
oleh para generasi selanjutnya. Generasi yang akan dihuni oleh anak cucu kita
di masa depan. Sikap kewajaran masyarakat dalam menyampaikan argument di jalan,
berkomentar itulah menjadi sikap kewajaran dan perlu didengar. Sulit, sangat
sulit sekali para pemimpin ini untuk mendengarkan komentar pemilihnya. Mungkin tidak
semuanya seperti ini, dan hanya ada beberapa oknum saja. So, tidak salah jika
masyarakat mempertanyakan akan sebuah haknya. Seakan minta kejelasan dari hal
yang sudah dijanjikan.
Bijaklah dalam menentukan keputusan dan kebijakan. Karena baik
buruknya kami sebagai pemilih akan paham dan tahu, jika kondisi seperti ini terus
dibiarkan kita akan tenggelam. Banyak sikap kesalahkaprahan yang sudah dibuat
dan dirancangkah? Seakan sulit sekali untuk memihak kepada kami? Kami tidak
mungkin mengaku diri kami salah, karena sebuah proses pemilihan tidak akan
terjadi kalau para pemimpin tidak dipilih. Ada harapan besar di kepala kami bahwa
kebebasan dan sikap keputusan serta kebijakan akan berpihak kepada kami. Tapi kapan?
Berhentilah menjungjung tinggi atas sikap kearogansian kepada satu individu saja.
Tolong berhentilah bermain topeng di kehidupan ini, jika kami dianggap terlalu
awam ada Sang Maha Kuasa yang akan terus melihat dan menilai keadaan ini. Sebelum
kita semua diberikan sikap yang tidak disukai oleh Sang Pemilik Negeri ini.
Astagfirullah

Komentar