SSG [ Santri Siap Guna ] Daarut Tauhiid
Bandung saat subuh hari dan malam hari jelas sangat berbeda. Suasana Bandung setiap tahun yang dikunjungi pun memberikan kesan yang selalu berbeda. Kali ini kakiku menapakkan di Kota Kembang bukan untuk solo traveling maupun bersama keluarga, melakukan safari kajian. Melainkan mengikuti SSG, kegiatan yang sudah lama aku kenal namun belum pernah mengikutinya. Aku tidak pernah membayangkan akan merasakan Bandung di tengah malam, sendirian tanpa obrolan hangat bersama keluarga yang biasa kami lakukan setiap tahun hari. Momen ini, menjadi momen luar biasa yang kualami di tengah kesendirian di tengah hutan pikiranku banyak termenung dan beristigfar menyebut asma-NYA.
Dua kali kami berjumpa dengan Aa Gym dan berkesempatan mendengarkan kajiannya di Masjid Daarut Tauhiid, Gegerkalong Bandung. Syahdu, adem, dan penuh hikmat tidak ada obrolan dan kebisingan yang dirasakan. Isi kajiannya yang dapat ku rangkum di sore itu sebelum berangkat ke lokasi perkemahan. Perlunya sebagai manusia memiliki sikap tawakal, ikhlas, sabar, dan tidak mudah menyerah atau bahkan menjadi beban. Perasaan yang kadang luput di diri manusia, kerap membandingkan kinerja orang lain dengan orang lain sebagai pembanding, memfokuskan kepada kekurangan tidak fokus pada kelebihan diri dan sering membandingkan pendapatan.
Perlunya memiliki sikap husnudzon dengan segala ketentuan yang Allah berikan. Yakin dari setiap dibalik ujian dan amanah ada alasan khusus yang Allah siapkan untuk diri. Sebagai seorang muslim perlu menjaga diri badannya dengan baik. Pantang menjadi beban kawan, pantang berkhianat, dan harus memiliki jiwa dan mental yang kuat serta bertanggung jawab.
Setelah selesai mendirikan tenda untuk bivac, digelarlah matras untuk bermalam di bawah naungan cahaya yang setitik dapat menerangi dalam kegelapanku. Dibukanya Al Qur-an sebagai pemula tilawah mentafakuri hidup dan bermunajat di malam hari. Bapak, teringat wajahmu betapa kelunya lidah ini menyebutmu di tengah malam hari. Dari semua rentetan petuah yang diterima, bapak rasanya aku gak sanggup jika hidup sendirian tanpamu. Hanya itu kosakata yang diingat. Sense of Death membawaku ke masa lalu, saat ditinggal almarhumah ibu, bapak mengajakku untuk turun ke dalam liang lahat menyaksikan terakhir kalinya wajah ibu. Sempit, basah, dan keheningan menyelimutiku di malam hari.
Beberapa kalimat tertuang di lembaran
kertas, sesusai mendirikan tenda dan menggelar matras ceriteraku perjalanan
tafakur diri ini. Kejadian hidup yang dijalani, asumsi-asumsi manusia yang
seharusnya tidak kudengar, komplenan yang seharusnya tidak kulontarkan, hanya
berlandaskan keduniawiian semata. Ya Rab, diriku memang sekerdil ini. Apakah
masih pantas untuk mengangkuhkan diri?
Semua momen mengandung relevansi yang
sangat jelas, dalam kenyamanan dan keamanan sebagai seorang hamba. Cukup, cukup
Allah menjadi satu-satunya penolong. Cukup kamu akan merasa cukup jika
bersyukur dan melekatkan rasa ikhlas di dalam qalbumu. Di tengah malam yang
kelam, dan sunyi manusia hanya sendirian dalam mengurusi hidupnya. Tidak
dihebohkan dengan hal keduniawiaan, tak ada yang dapat menolongnya selain
dirinya sendiri. Saat tengah malam ku terbangun, hanya 1 kata yang diingat
“Dzikirlah” semuanya akan terasa aman.
Representasi manusia dalam menjalani
kehidupan, berapa pasang mata, kepala, dan asumsi bertaburan di sekitar kita.
Keputusan mengikuti arahan-NYA atau memilih menjadi pribadi yang pembangkang
terhadap ketentuan, semua ada di pilihan setiap manusia. Wallahualam.
Komentar