HARU, JANUARI [CERPEN]

 

HARU, JANUARI

Amelia Rosliani

 

sumber gambar : pinterest.com

Gemerlapan Ibu Kota menghiasi di sepanjang jalanan, perayaan seperti ini bisa sampai menjelang pagi tiba. Kawanan kaum urban merayakan hari pergantikan tahun di malam harinya. Mengingat kenangan-kenangan yang telah menghiasi di awal tahun hingga akhir tahun kemarin. Suka dan duka menyatu di komposisi kehidupan manusia, baik individu atau bahkan kelompok selama setahun berlalu. Berharap di tahun yang baru dan semangat yang baru dapat mendominasikan hal-hal baik di kehidupannya. Begitulah harapan dan tujuan manusia. Sederhana bukan?

Dunia sebatas senda gurau, maka perbaikilah dan isilah dengan hal-hal yang dapat mendatangkan kebermanfaat bagi diri sendiri dan bagi orang lain.

vvv

Jam dinding menunjukan pukul 16.20 WIB, kuganti mode shut down pada laptop yang telah lama berlayar dari pagi menemani pekerjaan sore ini. Satu per satu buku, dan alat tulis kurapikan dan bersiap-siap mengemasnya dalam ransel berukuran kecil, sambil melirik telepon seluler aku mengecek kembali rute commuter line yang akan dilalui.

Sebuah aktivitas awal di tahun baru yang seharusnya dipenuhi dengan semangat dan harapan baru, kuawali dengan bekerja di tengah hiruk pikuk Ibu Kota. Genap enam tahun menetap di ibu kota jauh dari keluarga dan kampung halaman. Suasana asri, udara segar, tanpa polusi adalah harapan yang dirindukan pada saat libur bekerja. Bekerja bagi sebagian orang memiliki definisi yang sangat berbeda-beda, bekerja dapat sebagai ibadah, aktualisasi diri, dan proses bertumbuh.

Beberapa tahun berlalu memori kenangan yang tersimpan, lambat laun akan memberikan kisahnya yang baru. Mungkin sedikit jenuh dan candu dengan beberapa aktivitas yang hanya pengulangan saja. Kulirik kanan kiri sebelum menyeberang jalanan luas ibu kota ini. Manusia memang harus mawas diri dari segala penjuru.

Kurebahkan tubuhku pada kasur berukuran single bed, ku tatap pandanganku ke langit-langit kamar. Jeda beberapa hari setelah kepergian sahabat terdekat, 20 tahun mengenalnya mungkin percakapan kami yang diingat membahas tentang pekerjaan dan tujuan hidup. Kami sadar bukan remaja di usia belasan lagi yang meluangkan waktu senggang untuk membahas hal-hal yang tidak begitu krusial. Sore itu, perasaanku sangat shock mendengar kepergiannya. Di kejauhan senyum tipisnya membayangiku. Ah, waktu tidak bisa diputar sesuai dengan keinginan kita. Lagi-lagi ditegur oleh waktu dan dengan orang-orang terdekat. Melalui peristiwa ini, bahwa kepergian memang tanpa diawali dengan permisi.

Beberapa kata hilang tak terucap, beberapa individu perlahan pergi meninggalkan di kehidupan kita, membungkus kenangan haru menjadi satu. Kesedihan, mungkin lebih cocok direpresentasikan untuk pengawalan tahun baru ini. Hanya kekekalan yang pasti menyelimuti di benak sanubari manusia, hidup di dunia ini hanya sementara. Perlukah mengakrabi diri dengan kata kehilangan?

Ketakutan itu ada, bahkan sangat nyata. Terlebih ketakutan akan ditinggalkan oleh orang-orang tersayang. Pernahkah kita memikirkan apa yang akan dibawa?

Apa yang akan dibawa?

Sudah cukupkah perbekalanmu?

 


 

 

 

 

Komentar