Bayangan Si Pengalana
di Persimpangan
sumber gambar : dokumentasi pribadi Samsung Galaxy A32
Di persimpangan itu, lampu redup
kian terlihat sangat nyata seakan menutupkan pilihan pada seorang hamba dengan
segunung pengharapan. Katanya, jangan terlalu banyak berharap kepada manusia
jika tak ingin merasakan kegagalan atas sebuah pengharapan yang begitu besar.
Katanya, sumber dari rasa kecewa yang begitu dalam itu karena sifat kitalah
yang telalu pakai hati daripada memainkan logika.
Atau jangan-jangan kitalah yang
meresponnya terlalu dalam dan jauh.
Hidup yang selalu diduga-duga dan
berbuah praduga yang tak masuk akal. Sepertinya ku tak mesti mengukur lagi
bahwa kebaikan itu lawannya dari keburukan dan kedekatan lawannya dari
kejauhan. Jika jarak menjadi sebuah problematika seorang hamba dalam
mengharapkan pertemuan rasanya sangat masuk akal. Tapi, apa jadinya jika
mempertanyakan takdir yang sudah jelas-jelas sangat bisa diusahakan jika
sebagai hamba ingin mengupayakan dan mengusahakannya.
Tanyakan pada dirimu, tanyakan
pada hatimu bisakah hatimu dibuka kembali atau bahkan menerima kembali ruang
kosong untuk seorang pengelana yang masih tersesat dengan jeruji dan membawa masa lalunya?
Layaknya layang-layang yang ingin
terbang ia akan mencari arah anginnya yang tepat sebagai peraduannya. Manusia
selalu dikelilingi oleh banyaknya pilihan, dipilih dan memilih menjadi kata
yang sangat lumrah dan sering terjadi di kehidupannya. Si pengalana sudah
sangat mahir dalam memainkan diksinya untuk bergaul atau berceloteh ringan,
memadu kata menjadi andalannya dalam berkomunikasi untuk memikatnya. Tapi, ada
yang tidak dimiliki oleh si pengalana, ialah kebahagiaan yang sesuai dengan
ekspektasinya. Berharap hidup sesuai rencana yang ia rencanakan atau bahkan ia
susun lebih lama lagi, nyatanya tangannya tak cukup terampil dalam menciptakan
masa depan yang bahagia. Terlalu banyaknya keraguan menyelimutinya benaknya.
Begitu menurut perspektifku
Memilih bukan berarti menjadi
objek yang terpilih. Si terpilih pun berhak untuk menentukan masa depannya,
dengan siapa ia wajar dan wajib untuk dibahagiakan secara jasmani dan
rohaninya.
Dari riwayat kisah seseorang, ku
paham bahwa hidup tak selamanya sesuai dengan jalan dan kehendak kita sebagai
hamba rendah logika. Mengharapkan terhadap sesuatu yang belum pasti akan sulit
sekali dalam menerima kekurangan orang lain. Jika menjadi genap membuat hidup
menjadi bermakna dan berarti, lantas kenapa masih ada keragu-raguan jika sudah
saling kenal? Penalaran kita akan berbeda jika sudah melakukan tahapan obrolan
yang lebih intens, tidak perlu memaksa agar sepaham dan sefrekuensi karena
hidup bukan saling menerima yang sudah sempurna bukan?
Komentar