Setelah berkali-kali mencari buku ini di toko buku
saya tak menemukannya, akhirnya pas liburan kali ini saya disempatkan untuk
membaca karya beliau. Awalnya saya penasaran mengenai isu yang dibahas pada
novel ini yang mengangkat isu agama sebagai plot kisahnya, Islam pembaharu dan Islam tradisional. Itulah mengapa saya sangat ingin membacanya sebab tak lain
karena isu yang diangkatnya pun membuat saya penasaran.
Novel ini bergenre romans, tak banyak kisah romans
yang diangkatnya pun, bagi saya hal sangat saya antusiasnya ialah pada saat
penulis menjabarkan perbedaan-perbedaan yang terjadi antara Muhammadiyah dan
NU, kisah masa lalu dari masing-masing tokoh yang kelak menyimpan begitu banyak
misteri tentang sebuah tempat yang kelak memiliki nilai sejarah yang sangat
kental. Mif dan Fauziah, ialah tokoh yang digambarkan pada novelnya, menurut
saya bukan kedua tokoh yang menjadi inti utama ceritanya. Melainkan tokoh Is
dan Moek, orang tua kedua tokoh tersebut yang saling berkesinambungan pada inti
cerita, bisa disebut sebagai sutradaranya buku ini.
Jangan merasa aneh karena berbeda, sebab Tuhan pun
menciptakan manusia dengan banyak sekali perbedaan, laki-laki dan perempuan
agar saling mengisi satu sama lain. Adanya agama dijadikan sebagai pedoman
untuk kehidupan bersosialisasi, Al Quran pedomannya. Itulah pesan tersirat yang
dapat saya ambil setelah selesai membaca novel ini. Tak ada bahasa yang sarkas,
bahasa vulgar atau pun bahasa yang membuat saya mengernyutkan dahi pada saaat
membacanya. Sejauh ini bahasa yang dipakai penulis pun masih cukup sangat
dimengerti oleh pembaca.
Tokoh Mif dan Fauzia hadir sebagai jembatan penghubung antara kisah dari
para orang tua mereka yang sebagai inti dari cerita buku ini. Kisah tokoh Islam
pembaharu dan Islam tradisional berada di satu lingkungan yang hanya dipisahkan
oleh jalan penghubung desa tersebut. Desa Centong namanya, hanya dipisahkan
oleh pembatas jalan yang memisahkan kisah Centong Utara dan kisah Centong Selat
Komentar