Dulu dan Kini

 

Dulu dan Kini


sumber gambar : pinterest.com

Bandung kini dan nanti, sepertinya nama kota kembang ini akan selalu menelusuri pikiran dan pandangan saya di tiap tahun. Bandung memiliki ruangan khusus di pikiran dan hati, entah dari keramahan warganya, suasanannya, kulinerannya, dan momennya. Tiap tahun sudah menjadi kerutinan saya untuk mengunjungi kota ini, entah untuk tes CPNS, atau berkelana menelusuri jengkal demi jengkalnya. Jika ke Bandung saya menyempatkan diri untuk memandangi tiap perjalannya menuju Tol Pasteur, alhamdulilah rumah di Karawang akhirnya mendapat jarak yang dekat dengan kota Bandung, jarak sekitar 2-3 jam di perjalanan menuju Bandung.

Bandung di benak warga Jawa Barat bukan hanya sebagai ibu kota saja, melainkan tempat singgah dan menyapa dikala libur tiba. Jujur saya mengunjungi Bandung hampir tiap tahun, bukan hanya untuk lewat saja sebelum tiba ke Sumedang. Tapi, memang suasananya yang selalu membuat rindu, mungkin bagi saya Bandung menjadi kota kedua setelah Bogor yang memberikan ritme flashback kenangan.

Rute kota kembang ini tidak lama dari Kabupaten Karawang, cukup melewati Tol Karawang Timur perjalanan tidak lebih dari 3 jam jika bukan hari liburan maka akan langsung sampai. Mungkin, di masa depan Bandung akan menjadi rumah atau bahkan tempat menetap saya di kemdian hari. Semoga saja ada yang ingin mengajak saya untuk tinggal di kota kembang tersebut. Hehe

Eh, kalau bisa memperjuangannya sendiri kenapa harus meminta untuk diajak? Haha

Ini kan tahun 2022, bukan 1991 buaiannya Dilan ke Lia. Ya walaupun secara harafiah nama saya sama dengan tokoh perempuan di kisah hidupnya Dilan 1991. Tapi sepertinya itu terlalu bertolak belakang dengan saya haha. Lia kalau kamu hidup di tahun 2022 sekarang ini pasti tidak mau kan tinggal di Jakarta hehe, sudah sangat sumpek Jakarta saat ini, mending di Bandung saja apalagi daerah Lembang. Ih tariis hhe

Terus apa hubungannya Dilan dan Bandung?

Saya kalau dimintai pendapat tentang buku dan film tidak selalu sama dan sependapat dengan lawan bicara hehe, maklum hobi setiap orang kan berbeda-beda jadi tak perlulah memaksa untuk sependapat hehe. Kalau dikaitkan dengan genre remaja, tiap generasi pasti memiliki kisah publik remaja masing-masing di dunia fiksinya. Sepupu saya yang lahir dan trend di tahun 80-90 an mengenal tokoh fiksi bernama Lupus, berawal dari ceritanya di majalah lalu difilmkan. Di awal tahun 2000-an kita kenal tokoh remaja penyuka sastra dan sangat jutek alias dingin bernama Rangga di film Ada Apa Dengan Cinta, representasi sosok remaja laki-laki kutu buku, penyuka sastra dan dingin kerap menjadi tokoh di dunia-dunia fiksi membuat tokoh permpuannya mabuk kepayang.

Lupus, Dilan, dan Rangga ketiga tokoh fiksi yang kita kenal di flatform dunia fiksi ini yang dikenal oleh generasi milenial. Mungkin akan ada tokoh-tokoh fiksi lain lagi setelah ini, kita tunggu saja. Pada perkembangan kesusastraan seperti itu dapat dikatakan sebagai refresentatif tokoh fiksi berdasarkan zamannya. Lupus, Roy pada tokoh fiksi Balada Si Roy atau Rangga pada Film Ada Apa dengan Cinta. Sebagai penonton maka akan terenyuh dengan berbagai kisah pada cerita film dan alur bukunya. Tokoh dibuat semenarik mungkin, sesempurna mungkin, dan pasti dibuat se-good looking mungkin oleh pengarang cerita.

Fenomena tersebut lumrah terjadi pada duni sastra, di mana definisi dari sastra ialah sebuah karya sastra yang diciptakan manusia dan dinikmati oleh manusia dengan memiliki tujuan yang pastinya berbeda. Fungsi sastra yang beragam tersebut memberikan ruang tersendiri kepada pelaku dan penikmatnya. Sastra sebagai bahan edukasi, sastra sebagai bahan rekreasi, sastra sebagai bahan diskusi, atau bahkan sastra sebagai bahan komunikasi masyarakat.

Kalau menurut penulis pena bernama Tere Liye penamaan tokoh pun dapat mempengaruhi alur cerita tersebut. Tak hanya itu, latar psikologis tokohnya pun menjadi faktor utamanya. Kita sebut saja tokoh bernama Tegar pada buku salah satu karyanya, memiliki sikap pantang menyerah, sabar, dan pastinya tegar.

Penamaan tokoh Dilan, Rangga, dan Roy akan sangat relate dengan kondisi tahun berapa karya tersebut muncul dan dilihat dari latar belakang penulisnya. Biasanya penulis-penulis muda dari ranah digitalisasi akan memakai penamaan tokoh yang sangat sulit untuk dilafalkan. Hal itu, disebabkan usia penulis yang tergolong muda dan dari kalangan generasi Z lebih menyukai penamaan yang sulit, pastinya lebih banyak referensi yang didapatkan.

Mengembangkan nama tokoh di karya yang akan dibuat perlunya riset dan mencari banyak dari referensi lain. Dapat dari dunia digitalisasi, buku yang dibaca atau bahkan nama-nama di sekeliling kita. Jika nama yang sangat beragam sudah sangat marak, sebagai penikmat karya sastra atau bahkan sebagai pencipta karya jangan sampai lupa untuk menyantumkan pesan moral yang disampaikan pada cerita yang sudah dibuat.

 

 

Komentar