Sepenggal Kenangan Manis

 

SEPENGGAL KENANGAN MANIS

Amelia Rosliani

sumber dokumentasi pribadi Samsung Galaxy A32


Panas hari itu membuatku malas untuk pergi ke sekolah hanya untuk melanjutkan les Matematika. Rautnya yang kadang membuatku enggan berkomentar apapun, terlebih dengan celotehannya yang membuatku untuk segera berangkat ke sekolah  tandanya harus segera mengakhiri permainan Harvest Moon. Bagaimana tidak, menjadi anak tunggalnya sampai di usia 8 tahun mengharuskan aku mengikuti acara sekolah dan mengurangi bermain. Kami pergi merantau di kota orang lain untuk menjelajahi ruang dan mengadu nasib di kota, usiaku kala itu menuju 8 tahun duduk di kelas 2 sekolah dasar. Sebuah kontrakan kecil di pinggir jalan yang dihuni oleh 3 anggota kelurga perantauan. Mamah, ayah, dan aku seorang diri yang kesehariannya tidak jauh dengan televisi di tahun 2000-an.

            “Lira, ayo siap-siap sebentar lagi kita berangkat jangan lupa botol minumnya, uang sakunya” teriak mamah dari dapur.

            “iya maah, semuanya udah di ransel sore aku jemput yaaa” pintaku karena selalu diminta untuk berdiam diri di pinggir jalan. Usiaku 8 tahun, ayah belum mengajariku atau bahkan tidak akan mengajariku bagaimana caranya menyebarangi jalan sendirian.

            “Terlalu berbahaya anak sd menyebrangi jalan, tinggal teriak saja” timpal ayah, memegangi tanganku untuk menyebrangi jalan raya. Setiap pagi dan sore tugas ayah berubah menyebrangi aku ke sekolah dan berangkat les. Hari-hari kami sangat mengesankan sebagai perantau dari desa menetap di kota.

Aku sangat bersyukur memiliki hubungan dan komunikasi dengan orang tua di usiaku yang muda dan memori itu masih bergelantungan di pikiranku, hingga saat ini usiaku 27 tahun. Mamah menemani keseharianku di sekolah, setiba di rumah dan menemaniku pada saat belajar. Saat kesulitan dalam berkomunikasi dengan teman baru, ia dengan telaten menemaniku bermain di depan halaman rumah, menemaniku dan berbelanja majalah Bobo di persimpangan pasar. Keseharianku dengannya seketika terhenti, di usia 9 tahun menuju kenaikan kelas dan seterusnya kami tidak merantau lagi.

“Ayo kita kemasi baju-bajunya, besok harus ke rumah nenek” Kata ayah memintaku untuk segera mengemasi keperluanku. Perintah itu sering aku dengar pada saat hari-hari menuju ke hari raya. Tapi ini sedang bukan menuju hari raya, barang-barang kami kemasi bahkan sepeda hadiah ranking 1 aku pun mesti dibawa ke rumah nenek saat belum sama sekali ku perlihatkan ke teman-teman. Beberapa pertanyaan ku lontarkan dari kenapa mesti mendadak, kalau bukan hari raya rumah nenek tidak seru tanpa sepupu-sepupu, dan kenapa mesti harus bawa sepeda segala, kan bisa saja di rumah nenek hanya beberapa hari saja. Nyatanya tidak, dan harus membawa sepeda.

“Liraa, kita sedang bukan untuk perayaan hari raya saja di rumah nenek, untuk hari-hari berikutnya” saut mamah memberikan penjelasan kepadaku. Tapi, tetap saja penjelasannya tidak kupahami. Tanpa banyak bertanya ku menuruti apa perkataan orang tua kala itu. Hanya 3 benda kegemaranku yang kubawa, sepeda, koleksi majalah Bobo, dan permainan Harvest Moon.

“Semuanya sudah siap? Laporan rontgenmu sudah dibawah mah? Kita bisa menjalani terapi di kampung halaman saja dekat dengan keluarga semoga Liraa bisa beradaptasi di sekolah baru” jawab ayah sambil menutup koper kami. Percakapan singkat itu terus menggelantungi pikiranku. Mengapa mendadak, dan perpindahan ini ternyata untuk selamanya kembali ke kampung halaman. Kehadiran ayah di sekolah ternyata bukan hanya untuk menemaniku menyebrangi jalan raya saja, ada hal yang ayah urus mengenai kepindahan sekolahku untuk di tempat baru.

Hari yang begitu singkat di awal 2000-an kami mengemasi barang untuk pulang, kabar mengejutkannya lagi aku akan memiliki adik di usia 9 tahun. Ayah harus berpindah pekerjaannya, dan aku memiliki adik perempuan kala mamah sedang berjuang dengan penyakitnya. Tepat di usiaku 17 tahun, baru menyadari penyakit yang dideritanya sangat menyakitkan sampai kami harus berpindah tempat. Lupus eritematosus sebuah penyakit autoimun yang menyebabkan peradangan oragan tubuhnya. Penyakit itu melekat selama 2 tahun mamah berjuang melawannya di tengah mengandung adik. Di hari yang begitu kelabu, aku menjadi sangat bersedih melihat kepergiannya di usia yang sangat muda.

Ku pandangi langit dengan penuh lirih “Mah, kini ku sudah dewasa, merantau tanpamu sangat memilukan, terima kasih atas waktu yang tidak begitu lama tapi sangat melekat di usia ini”.

Allahummaghfirlahu Warhamhu Wa’afihi Wa’fu’anhu..

cerpen ini dibuat pada saat mengikuti kelas menulis WIN (wong Indonesia nulis) 

 

Profil Penulis:

Amelia Rosliani adalah seorang pendidik di SMP IT Darul Qur-an Mulia Bogor. Membaca menjadi aktivitas rutinnya sebagai penghargaan kepada diri sendiri, menghabiskan waktu dengan para murid di lingkungan Boarding School. Telah menghasilkan 2 buku antologi puisi dan kumpulan cerpen. Dapat dihubungi email : ameliarosliani@gmail.com IG : ameliarosliani

 

 

 

Komentar