Kesehatan pikiran
Penulis : Amelia Rosliani, S. Pd
sumber gambar : pixabay.com
Akhir-akhir ini saya sering sekali mendengar kata toxic,
bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia ialah racun. Racun bukan hanya
berada pada sebuah makanan yang sering dikonsumsi saja. Melainkan dapat
diartikan contohnya pergaulan yang tidak sehat, hubungan yang rumit, atau
bahkan sikap yang memang dapat mengganggu orang lain.Berbicara mengenai toxic,
dapat berhubungan dengan kesehatan tubuh manusia itu sendiri, terutama mental
yang menjadi acuan dari segala pangkal pemikiran. Kok bisa ?
Ibarat makanan yang dikonsumsi secara terus-menerus
pasti akan menyisakan zat sampah yang mesti dikeluarkan. Sampah yang lama
kelamaan ditunpuk apalagi di dalam tubuh sangat tidak sehat. Ketidaksehatan
dari zat sisa makanan yang sering kita konsumsi, menjadi racun yang berefek
hingga larinya menjadi penyakit. Naudzubillah
Pembahasaan racun yang saat ini ramai diperbincangkan,
berbeda dengan racun dari zat sisa makanan yang dikonsumsi oleh tubuh secara
terus menerus. Melainkan racun, mengenai pembahasan obrolan yang tidak begitu
penting yang menyinggung lawan bicara. Hubungan yang tidak sehat, lingkungan
yang kurang baik, yang berefek menimbulkan pembahasaan yang menyinggung lawan
bicara.
Tak hanya sisa makanan yang akan menimbulkan atau
meninggalkan sisa berupa penyakit, ucapan yang mubazir pun dapat meninggalkan
bekas yang mubazir bagi lawan bicara. Seperti, hal-hal yang tidak seharusnya
diucapkan kepada lawan bicaranya, demi menjaga perasaan lawan bicara. Di sini
lawan bicara berhak menimpali atau membalas ucapan dari si lawan bicara yang
penuh dengan kata-kata singgungan.
Seperti
apa sih toxic people itu?
Sebuah hubungan yang tidak sehat ialah yang selalu
mengarah kepada hal yang negatif. Akhirnya tidak memberikan dampak positif,
lama kelamaan hal negatif yang selalu muncul dari pertemanan tersebut. Anggap
saja kita sebutkan contohnya sikap
saling ketergantungan satu sama lain. Manusia ialah makhluk sosial, tidak dapat
kita pungkiri jenis tujuannya, dan penjabarannya sebagai makhluk sosial, jelas
manusia perlu adanya interaksi antarsesama guna menjalin relasi untuk
berkomunikasi. Membuat jejaring sebuah percakapan di dunia pertemanan
menunjukan bahwa sikap dan perilaku manusia di lingkungan sosial dapat
diapresiasi.
Tapi, ketika perlakuan atau perilaku yang kurang kita
senangi dan memberikan efek negatif pada tubuh kita, respon yang kita
dapatkannya pun akan beragam. Yang menjadi pertanyaannya apakah selamanya tubuh
kita akan terus menerima perlakuan yang kurang sehat?
Jelas
pasti tidak mau kan..
Ketidaksehatan bukan hanya berarti berasal dari
makanan saja yang dikonsumsi oleh tubuh. Pembahasaan, dan hubungan pun kerap
menjadi objek utama dalam pembahasan ini. Jika di lingkungan sosial kita
memiliki sebuah pertemanan yang kurang sehat, seperti saling ketergantungan
satu sama lain, merasa paling benar, dan tidak menerima kritik sebagai
pembangun diri. Apakah hal tersebut dapat dikatakan sebagai wujud pertemanan
sehat?
Di era yang serba canggih sekarang, pembahasan obrolan
pasti akan berujung ke mana-mana, dengan kecanggihan teknologi kadang lawan
bicara dapat menyangkut pautkan kehidupan nyata dengan kehidupan maya. Sungguh
tidak realistis, jika kehidupan nyata kita selalu dibandingkan dengan kehidupan
maya, yang hanya sebagian orang-orang ketahui dari wujud cangkangnya saja.
Lambat laun, semakin tidak sehat jika dianalogikan jika tubuh sudah beraksi dan
ingin diobati respon cepat kita pasti akan langsung pergi ke dokter untuk
segera diperiksa. Tapi jika pikiran yang tidak sehat? Apakah mudah terlihat
oleh orang di sekitar kita?
Saya menyebut kasarnya seperti ini, hidup-hidup kita,
kita yang ngalamin kenapa orang sewot? Yaa… itulah hidup di tatanan
sosial masyarakat. Penuh dengan gimick dan intrik. Kenapa saya menyebutnya
seperti itu, banyak dari masayrakat yang ingin terlihat hidup waw demi
menurunkan gengsi semata. Ibarat kata, turunin lah sedikit kosakata yang
tidak perlu untuk diucapkan. Jika diucapkan hanya menyakiti lawan bicara saja.
Sebab, jika pikiran hati maka akan tidak konsen untuk melakukan segala
aktivitas sehari-hari. Jiwa kita, hanya kita yang mengetahuinya. Oleh sebab
itu, maka berikanlah atau responlah ucapan-ucapan yang memang akan memberikan
dampak baik untuk tubuh dan pikiran.
Manusia diberikan akal dan pikiran untuk dapat
menyaring segala informasi yang masuk di telinganya, siapa, kapan, dana pa informasi
yang diterimanya. Baik buruknya suatu informasi tergantung kitanya sendiri yang
dapat memilah dan memilih, segala sesuatu yang baik akan berujung kepada kebaikan
untuk diri kita, dan kebalikannya jika suatu hal yang kurang baik maka akan
menghasilkan hal yang kurang baik pula.
Komentar