Kita Teman, Kan?

 

Kita Teman, Kan?

 


Rasanya baru kemarin melihat mereka datang memijakan kaki mereka di lingkungan baru ini, cukup panas, gersang, dan jauh dengan lokasi depan. Untuk memulai aktifitas pun karena kami masih baru dan sangat kecil untuk ukuran sekolah menengah pertama sebagai angkatan pertama. Jika saya ditanya bagaimana posisi saya dihadapan mereka, saya cukup memosisikan diri sebagai teman bagi mereka jika berada di luar kelas. Jauh dengan orang tua mungkin menjadi kata “sepenanggungan” di perantauan dengan kicik-kicik yang sangat lucu jika diajak berbicara hal receh. Kita mungkin pernah di usia mereka, bedanya kita tidak seperti mereka berada di satu lingkungan yang dipantau dan dilihat oleh para guru-guru instansi. Ada yang membuat saya tertarik mengulas topik ini, ‘pendidikan’ mungkin usia saya dengan mereka sangat jauh, di mana posisi saya sebagai pembimbing mereka di lingkungan bernama sekolah.

Bagaimana rasanya dicurhati oleh anak smp? Padahal kalau mengingat dulu untuk dekat dengan guru saja saya kurang, selain berkaitan dengan akademik.

Bagaimana rasanya dititipi anak-anak remaja saat di mana seusia mereka sedang puber-pubernya. Hmm memang pantasnya saya sebagai kakaknya sih hehe kita tidak jauh beda kan ya…haha

Bagaimana rasanya menjembatani mereka saat sedang berada di perbatasan, saat diri saya sendiri terlihat cuek dan skeptis terhadap lingkungan sosial yang terlalu dekat, mata dan hati saya harus belajar menerimanya. Ya menerima dan mempelajarinya.

Ya, semuanya butuh pembelajaran step by step untuk melonggarkannnya dan terus memahaminya. Anak remaja loh susah ditebaknya, mau dideskripsikan bagaimana pun ‘kayaknya dulu saya tidak gitu gitu amat’ ya jelas akan berbeda. Tontonan kamu apa? Chibi Maruko Chan? Ya ampun.

Generasi Z menjadi generasi yang serba ada dengan adanya teknologi yang mentereng kecanggihannya di hadapan mereka. Mereka tahu dan pahamnya semua yang dibutuhkan ada di depan mata, tidak mesti menunggu sebulan dua bulan untuk mendapatkannya, tapi langsung ada. Nah, dari situ saja sudah beda kan.

Mungkin generasi 90an pernah mengalami hari-hari tanpa gawai, tapi tidak dengan mereka. Memosisikan diri di hadapan mereka perlu ilmu, bukan hanya pengalaman saja, ya tanpa kita pungkiri siih jika di usia mereka pernah merasa ngeyel “apaan sih” dua kata tersebut mungkin pernah terlintas di lisan kita saat membahas atau membicaraka sesuatu. Iya kan?

Ketahuilah di usianya mereka jangan menyalahkan di hadapan teman-temannya, apalagi memberikan punish semacam hukuman. Itu akan sangat melukai hati sama perasaannya, kalau ada cara halus dan sopan kenapa tidak face to face dan diobrolkan baik-baik tanpa merusak nama baik satu sama lain. Bukankah remaja itu pandai dalam mencontohkan sesuatu? Siapa yang dicontohnnya oleh mereka? Ya kita sebagai orang tua di lingkungan mereka, kalau bukan kita siapa?

Hanya karena kita lahir lebih dulu daripada mereka, kita bebas berbuat semuanya dari sikap dan lisan. Ada sesuatu hal yang di luar kendali kita, yaitu mengubah sikap dan karakter seseorang. Tidak perlu memaksa, mengajak tanpa mamaksa jelas berbeda kan?

Kekanak-kanakannya mereka sebagai perwujudan dari respresentasi remaja seusia mereka. Berkelakuan positif dan baik di hadapan mereka agar mereka merasa diakui dan dilihat ada, tidak perlu mengeluarkan kata-kata yang tidak perlu, kalau lelah bisa rebahan dulu. Tidak semua harus dilakukan dengan sempurna kan?

Emang untuk bekerja totalitas itu membutuhkan jerih payah dan waktu yang lama, eh proses yang tidak sebentar. Tapi, pernahkah kita berpikir sebagai guru pembimbing yang selalu ada di saat mereka membutuhkan kala sedih dan duka pun mereka sudah senang, lantas siapa kita yang ingin mengubahnya? Bukankah sudah jelas, untuk mengubah karakter itu bukan hanya dari penjabaran lisan panjang dan deskripsi yang panjang. Sudahkah mencontohkannya dari sikap?

Dalam sebuah buku mengenai psikologi pendidikan, pendidikan pertama yang mengubah karakter seseorang itu lingkungan yang bernama ‘keluarga’. Adanya masalah (output) dan adanya perubahan (input) yang terjadi pada diri seseorang. Apa yang kita lihat, kita pelajari, insya Allah aka nada input yang kita terima.

Kembali lagi dalam memosisikan diri dengan para murid ciwi-ciwi ini, dari mereka saya belajar bahwa untuk jauh dari orang tua itu bukan dilihat dari seberapa banyak usia kita. Di usia mereka yang belasan mungkin saya belum merasakan bagaimana rasanya jauh dengan orang tua untuk disekolahkan. Dari obrolannya saya dengan mereka, saya bisa menjadi seseorang yang di usia mereka, mengetahui trend-trend yang sedang ramai dibicarakan oleh mereka, dan pastinya saya jadi mengetahui bahasa-bahasa gaul remaja haha.

Banyak sekali hikmah, pengalaman, serta ilmu parenting yang didapat dari mereka, pola asuh, pola pendidikan di lingkungan keluarga. Beruntunglah punya hobi baru ‘mengobservasi’ hal-hal yang nampak di sekitar kita. Bagaimana merepresentasikan posisi menjadi orang tua bagi mereka, memosisikan menjadi sahabat bagi mereka, atau bahkan menjadi teman cerita bagi mereka. Karena ada hal yang tidak saya dapatkan di usia mereka, menjadi pendengar yang baik dan menemukan pendengar bagi semua keluhan yang saya miliki, kepada sosok seorang ibu.

Dari pengalaman ini saya dapat menyimpulkan bahwa memang benar untuk menjadi orang tua itu tidak ada mata kuliah atau sekolahnya, selain langsung terjun dan menceburkan diri. Mungkin untuk saat ini saya belum menjadi orang tua yang memiliki anak biologis yang harus saya didik langsung, dari mereka anak-anak idelogis saya jadi banyak belajar bagaimana rasanya banyak mendengar kemauan mereka dan menjawab rasa ingin tahunya mereka.

Apa tidak mengapa menganggap mereka teman Mel? pertanyaan yang wajar diterima, sah sah saja sih, bagaimana kita sebagai pembimbingnya mereka memosisikan untuk mereka. Kapan menjadi teman curhatnya, kapan menjadi tutornya. 

 

 

 

 

 

 

Komentar