Sekolah di Pinggir Jalan Jagorawi

 

Sekolah di Pinggir Jalan

Logo Sakola Alit Bogor

Cerita ini bermula dari kegabutan saya sebagai seorang mahasiswa perantauan yang menetap sementara di Kota Hujan. Melabelkan diri sebagai seorang mahasiswa memiliki ruang lingkup yang amat luas setelah lulus dari sekolah menengah atas, yaa kalau dulu saya mungkin masih skeptis tentang pertemanan yang mesti bergerombolan. Pengalaman pribadi ini akan saya ceritakan sesuai yang pernah dialami selama tinggal di Kota Hujan, dan menjadi relawan pengajar pendidikan di sana.

Sumber : merdeka.com

Ketertarikan saya membawa rasa penasaran saya semakin jauh dan tinggi di bidang pendidikan, jika sekolah hanya melabelkan diri gedung bangunan yang bernama sekolah dan guru. Di sini ekspektasi saya benar-benar dikoyak dengan rasa penasaran yang begitu banyak. Namanya Ella, gadis Bangka Belitung, daerah kepulauan yang memberikan motivasi secara langsung kepada saya tentang dunia pendidikan di kolong jembatan dan di pinggir jalan tol.

Sebagai relawan harus mau menerima kondisi dengan situasi sekitar, yang paling utama dari sudut pandang pertama, melihatkan kondisi sekitar berkaitan dengan kondisi sosial. Di sini sangat nyata, saya begitu terbuka melihat kondisi sosial di mana ada ketumpang tindihan dalam perilaku bersosial khususnya dengan masyarakat maaf ekonomi menengah ke bawah. Adanya kesenjangan sosial masyarakat untuk mengenyam pendidikan di sudut pandang saya. Jika sekolah hanya untuk orang kaya, itu amat salah.

Kebebasan untuk mengenyam pendidikan dan ilmu pengetahuan di sini tidak ada batasan usia dan penghasilan. Semua orang berhak mengenyam pendidikan, dari siapa dan di mana ia mendapatkannya. Semua orang berhak menjadi pintar, jika menjadi kaya ialah sebuah warisan, tapi tidak untuk kata pintar. Menurut saya, menjadi pintar dan berusaha dengan kerja keras sendiri, tipikal sosok pribadi yang mau berjuang dengan konsep ia sendiri tanpa mengandalkan orang lain, termasuk orang tua.

Ada sebuah kutipan dari seorang penulis tanah air, sering-seringlah kita mengunjungi tempat yang berada di luar jangakaun dalam artian melihat kondisi sekitar agar lebih banyak mensyukuri kehidupan dan bersyukur. Kondisi tempat yang jauh dari ekspektasi saya, yang biasanya saya lihat di sosial media dan tayangan televisi. Kini saya lihat secara langsung di depan mata, mereka yang layak mendapatkan haknya sebagai warga negara, sesuai hukum yang berhak menerima ilmu pengetahuan.

Di sini lah saya menganggap, sekolah ah gaperlu dengan namanya harus pergi ke gedung yang bernama sekolah. Di Sakola Alit mata saya seakan terbuka, masih banyak di luaran sana yang membutuhkan dan mesti diprioritaskan di bidang pendidikan. Pendidikan tidak mengenal uang, status sosial di sekitar, semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Sepertinya mereka menjadi murid pertama saya sebelum lulus kuliah, mengajarkan saya untuk lebih banyak bersyukur dan mensyukuri kehidupan.

Sebuah metafora yang sudah melekat di pandangan orang-orang, jika zaman sekarang untuk mengenyam pendidikan dapat di mana saja dan dengan siapa saja. Seorang murid dapat mendapatkan ilmu dari seorang guru, begitu pun seorang guru pun dapat mendapatkan sebuah ilmu dari seorang murid. Ada sebuah korelasi yang muncul di sini, di mana tidak ada lagi sekat yang sangat kontras antara guru dan murid, dengan mengedapankan sikap saling menghargai privasi dan memahami tidak adanya kesinggungan antara posisi dan status ini.

Jika diberi kelebihan oleh Tuhan, maka jangan malu dan pelit untuk menyebarkannya, ilmu jika hanya untuk dinikmati diri sendiri tidak akan membawa keberkahan serta ada titik kurang menjadi manusia menjadi manfaat kepada sesama. Jika asumsi kepada anak-anak Alit negatif, menurut saya berlebihan, manusia tidak bisa meminta untuk dilahirkan dari siapa, dan bagaimana menjalani kehidupan. Tapi, selama nafas keluar dari rongga hidung, dan kehidupan berjalan, sebagai manusia berhak dan memiliki kesempatan untuk mengubahnya. Jangan sekali-kali menyalahkan keadaan, kehidupan, selama usia masih ada dan diberi nafas oleh Tuhan, manusia wajib mengubah nasibnya.

Banyak ilmu yang saya dapatkan dari mereka, untuk lebih bersyukur jadi manusia jika diberi ujian, jangan patah atau mudah minder dengan sekitar jika berada di posisi jauh dengan orang lain. Manusia di mata Tuhan sama, yang membedakan hanya amal perbuatan, jangan malas untuk berbincang dan sharing dengan orang lain. Ilmu dapat kita dapatkan dan temukan di mana saja dan dengan siapa saja, sekali pun dari seorang murid kepada guru, atau guru dengan murid. Semuanya orang dapat menjadi guru, bukan hanya melabelkan diri dari sebuah gedung yang bernama sekolah. Terima kasih kesempatan yang telah melekat kepada saya selama menjadi perantauan sementara di Kota Hujan, yang memberikan perubahan yang sangat kompleks ke diri saya sampai saat ini.

Sedikit saya bercerita di beberapa alinea ini, di Sakola Alit ada siswa bernama Isal. Waktu itu usianya SMP sepertinya dia yang paling dewasa di antara adik-adiknya yang lain. Sosok kakak bagi adik-adiknya, yang mengatur waktu dan dituakan, anak-anak Sakola Alit menjadi segan kepadanya. Sekarang murid yang bernama Isal itu, telah duduk di bangku perguruan tinggi swasta di Kota Bogor, semester 1 mengambil jurusan Ekonomi.

Darinya saya belajar bahwa motivasi bukan hanya didapatkan dari orang-orang eksternal saja, melainkan adanya motivasi yang lahir dari diri sendiri. Kemauan untuk maju dan siap menerima perubahan di masa depan. Sebab, zaman kian hari semakin maju ke depan, bukan justru melahirkan kembali situasi ke belakang. Jika masalah utama manusia untuk menempuh pendidikan berasal dari ekonomi, rasanya sangat mustahil.

Kenapa saya sebut mustahil? Dalam artian saya seperti ini, ada yang Tuhan berikan kelebihan dari segi keuangan. Namun, tidak berminat untuk melanjutkan pendidikan, padahal dengan segi segala kecukupan untuk menempuh pendidikan di jalur menengah atas hingga perguruan tinggi sudah sangat mampu. Di sini kita dapat melihat dari perspektif lain. Bisa kah melawan perubahan dengan pemikiran lama dan mau berubah untuk merangkul masa depan?

Nyatanya tidak semua orang mau dan siap untuk menerimanya. Dari Isal saya belajar, bagaimana pun kondisi pun sekolah itu harus. Tidak semua yang duduk di bangku perguruan tinggi dengan memiliki kondisi ekonomi yang amat stabil, mengapa saya berani menyebutkan seperti itu?

Tinggal dan menetap di lingkungan yang tidak acuh tak acuh terhadap pendidikan mendapatkan dorongan bahwa sekolah bukan hanya untuk orang kaya, anak saudagar, dan tentunya laki-laki yang lahir di keluarga sebagai anak pertama. Ada yang ingin saya sanggah di sini. Semua orang berhak memiliki mimpi, harapan, dan perlu diwujudkan dengan cara yang amat relevan. Jika saya menyebutkan sekolah, rata-rata orang-orang yang ingin mengubah nasibnya menjadi lebih baik, dan memiliki masa depan, dapat bersaing di lingkungan sosial.


 


Komentar