Meira
Karya Amelia Rosliani
Usianya tiga tahun saat kejadian itu berlangsung, di hidupnya ia hanya mengenal angka dan
notasi balok yang rutin dimainkan. Oma dan opa mengenalkannya pada permainan
itu agar mengalihkan pertanyaannya yang kadang harus memutar otak saat mencari
jawaban.
Meira tiga tahun, belum mengenal hati tulus manusia di sekelilingnya, perasaan yang digandakan, hati yang tersayat walau rupa harus menunjukan makna bersyarat.
Dunia
terlalu munafik untuk Meira kenali dan selami, kehidupan terlalu abstrak
untuknya pelajari, dan percakapan pun sulit dicerna seiring bertambahnya usia.
Meira terbiasa dilayani, bukan melayani. Tahun-tahun berlangsung, sifat
melayaninya Meira berubah saat ditinggal oleh orang-orang tersayang. Manusia
tidak bisa berjanji untuk selalu hidup lebih lama di dunia, manusia pun terlalu
arogan untuk tetap meminta hidup dipanjangkan. Jika kenyataannya banyak sekali
perilaku yang membuat jengkel semesta.
Meira
kecil hidup penuh ironi, kehidupan tak berpihak padanya, tepat dua bulan usianya
semesta memanggil objek syurga dunia di kehidupannya. Hari-harinya menjadi
kalang kabut, seakan belum diwarnai sifat-sifat manusia yang tertutupi
kebaikan. Kadang manusia memang perlu diperjelas dengan realita, ketimbang
selalu mengharapkan ekspektasi yang luar biasa bahkan fantastis.
Kepala
Meira penuh dengan beberapa pertanyaan, pertanyaan yang setiap tahun harus
menemukan jawabannya.
“Di
mana ibu?”
Sebuah
pertanyaan yang membuat sekelilingnya menghela nafas dan merenung untuk
beberapa waktu, sebelum semuanya berurai air mata.
Kewalahan
mesti menjawab apa dan berakting seperti apa untuknya, untuk di hari-hari
berikutnya. Di hari ini mungkin dapat mengelabuinya. Tapi, apakah hari-hari
berikutnya kami dapat mengelabuinya juga?
Ternyata
tidak.
Perlahan,
Meira tumbuh di luar ekspektasi kami yang kadang hanya mengandalkan nalar,
ketimbang perasaan. Meira tumbuh dari kondisi yang tidak pernah ia minta untuk
dijalani, dilalui, bahkan dirasakn untuk dialaminya.
15
tahun berlangsung, Meira hidup menjadi perempuan yang sangat tegas dalam berkepribadian,
santun dalam bertutur kata, yang lambat laun tidak pernah mempersoalkan
pertanyaan kata “kembali”. Lambat laun waktu berpihak pada kami, dan tidak
perlu mencari jawaban dari beberapa pertanyaannya kembali. Tahun demi tahun
berganti, tidak perlu berlelah-lelah agar diakui dan meminta pengakuan.
Kehidupan tak selama getir, dan hati manusia tidak selamanya keras.
Sebab,
untuk meminta ingin dipahami, kadangkala manusia harus mengerti lebih dalam
arti dari memahami. Beberapa porsi perasaan memang mesti terbagi atau bahkan
dibagi. Tapi, nyatanya manusia tidak perlu meminta penjelasan yang lebih
konkret akan suatu hal yang begitu rumit. Kewajaran memang sangat dibutuhkan
untuk keberlangsungan hidup.
Manusia
tidak bisa meminta dilahirkan dari Rahim siapa, dan bagaimana kondisinya. Tapi
manusia berhak memilih jalan kehidupannya, menjadi lebih baik atau sebaliknya,
dan menyortir lakon-lakon di kehidupannya.
Bogor,
20 september 2020
Setelah
hujan reda
Komentar