MEIRA [cerpen]

 

Meira

Karya Amelia Rosliani

Usianya tiga tahun saat kejadian itu berlangsung, di hidupnya ia hanya mengenal angka dan notasi balok yang rutin dimainkan. Oma dan opa mengenalkannya pada permainan itu agar mengalihkan pertanyaannya yang kadang harus memutar otak saat mencari jawaban.

Meira tiga tahun, belum mengenal hati tulus manusia di sekelilingnya, perasaan yang digandakan, hati yang tersayat walau rupa harus menunjukan makna bersyarat.

sumber gambar : pexels.com

Dunia terlalu munafik untuk Meira kenali dan selami, kehidupan terlalu abstrak untuknya pelajari, dan percakapan pun sulit dicerna seiring bertambahnya usia. Meira terbiasa dilayani, bukan melayani. Tahun-tahun berlangsung, sifat melayaninya Meira berubah saat ditinggal oleh orang-orang tersayang. Manusia tidak bisa berjanji untuk selalu hidup lebih lama di dunia, manusia pun terlalu arogan untuk tetap meminta hidup dipanjangkan. Jika kenyataannya banyak sekali perilaku yang membuat jengkel semesta.

Meira kecil hidup penuh ironi, kehidupan tak berpihak padanya, tepat dua bulan usianya semesta memanggil objek syurga dunia di kehidupannya. Hari-harinya menjadi kalang kabut, seakan belum diwarnai sifat-sifat manusia yang tertutupi kebaikan. Kadang manusia memang perlu diperjelas dengan realita, ketimbang selalu mengharapkan ekspektasi yang luar biasa bahkan fantastis.

Kepala Meira penuh dengan beberapa pertanyaan, pertanyaan yang setiap tahun harus menemukan jawabannya.

“Di mana ibu?”

Sebuah pertanyaan yang membuat sekelilingnya menghela nafas dan merenung untuk beberapa waktu, sebelum semuanya berurai air mata.

Kewalahan mesti menjawab apa dan berakting seperti apa untuknya, untuk di hari-hari berikutnya. Di hari ini mungkin dapat mengelabuinya. Tapi, apakah hari-hari berikutnya kami dapat mengelabuinya juga?

Ternyata tidak.

Perlahan, Meira tumbuh di luar ekspektasi kami yang kadang hanya mengandalkan nalar, ketimbang perasaan. Meira tumbuh dari kondisi yang tidak pernah ia minta untuk dijalani, dilalui, bahkan dirasakn untuk dialaminya.

15 tahun berlangsung, Meira hidup menjadi perempuan yang sangat tegas dalam berkepribadian, santun dalam bertutur kata, yang lambat laun tidak pernah mempersoalkan pertanyaan kata “kembali”. Lambat laun waktu berpihak pada kami, dan tidak perlu mencari jawaban dari beberapa pertanyaannya kembali. Tahun demi tahun berganti, tidak perlu berlelah-lelah agar diakui dan meminta pengakuan. Kehidupan tak selama getir, dan hati manusia tidak selamanya keras.

Sebab, untuk meminta ingin dipahami, kadangkala manusia harus mengerti lebih dalam arti dari memahami. Beberapa porsi perasaan memang mesti terbagi atau bahkan dibagi. Tapi, nyatanya manusia tidak perlu meminta penjelasan yang lebih konkret akan suatu hal yang begitu rumit. Kewajaran memang sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup.

Manusia tidak bisa meminta dilahirkan dari Rahim siapa, dan bagaimana kondisinya. Tapi manusia berhak memilih jalan kehidupannya, menjadi lebih baik atau sebaliknya, dan menyortir lakon-lakon di kehidupannya.

 

Bogor, 20 september 2020

Setelah hujan reda

 

 

 

Komentar