Xenoglosofilia, Kenapa Harus
Nginggris?
Agustus ini banyak sekali yang ingin saya ulas, tak
hanya buku yang telah saya selesaikan tuk dibaca. Well, berhubung pandemi dan
waktu luang lumayan banyak untuk rebahan, alangkah baiknya dipakai untuk
mengisi aktivitas yang bermanfaat. Bermanfaat tak hanya untuk raga, tapi untuk
pikiran. Terlebih mengenai pengetahuan, ada banyak cara yang dapat kita lakukan
untuk mengisi aktivitas pada saat pandemic ini, termasuk membaca buku.
Buku apa yang dibaca bulan ini?
Buku
pertama yang sudah saya selesaikan ialah buku berjudul Xenoglosofilia kenapa harus
nginggris? karya Uda Ivan Lanin,
sang wikipediawan bahasa yang sangat popular atas kecintaannya terhadap dunia
linguistik. Melihat latar belakang snag wikipediawan sangat bertolak belakang
dengan buku yang beliau tulis. Saya mengenal dalam artian hanya sebatas di
sosial media di akun twitter. Di mana beliau yang selalu mengkampanyekan
perisitilahan bahasa Indonesia yang belum memiliki kata serapannya.
Tentang apa isinya?
Buku
ini terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pertama sebagai pembuka yang
bertemakan Xenoglosofilia, bagian
kedua bertemakan Tanja, dan tema
ketiga bertemakan Mana Bentuk Yang
Tepat?
Oke,
saya akan membahas mengenai bab yang paling awal terlebih dahulu, bab
xenoglosofilia membahas mengenai bahasa-bahasa asing yang ramai dipakai ataupun
didengar di lingkungan bermasyarakat kita. Dimulai dari kata tetikus, gadget,
swafoto, dll. Semakin globalisasinya perkembangan zaman, ada banyak banyak
sekali bahasa asing yang diserap dalam bahasa Indoensia. Terlebih dengan
maraknya orang-orang di dalam negeri yang gemar memakai perisitilahan unsur
serapan tersebut. Di bagian pertama ini kita akan disuguhkan tentang bagaimana
unsur serapan tersebut dapat masuk ke negera kita, serta proses pengubahan
unsur serapannya hingga menjadi ada kata serapan bahasa Indonesianya.
Kita
tidak dapat memungkiri bahwa kosakata bahasa Indonesia banyak sekali mengambil
unsur serapan dari bahasa asing. Kita sebut saja bahasa Belanda, bahasa
Portugis, bahasa Tionghoa, serta bahasa Arab, yang hampir mendominasi unsur
kata serapan. Faktor yang menjadi banyaknya kosakata asing di tanah air ini
kembali lagi ke latar sejarah tanah air. sebagai warga yang mencintai
negaranya, tidak etis jika tidak mengetahui latar sejarah sebuah bangsanya.
Jadi,
salah jika mempelajari bahasa suatu wilayah tapi tidak mau mengetahui
sejarahnya.
Ada
keunikan dan keasyikan tersendiri bagi say ajika mempelajari bahasa. Sebut saja
bahasa NKRI bahasa Indonesia, sebelum terjun dan menyatu dengan masyarakat di
dunia pendidikan. Saya dulu sebagai mahasiswa, yang memiliki rasa penasaran
terhadap, di mana sih awal mulanya bahasa Indonesia itu disahkan? Sampai pada
akhirnya pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya penasaran itu, hingga saat ini
mulai terpecahkans atu per satu.
Oke, lalu ke bagian kedua yaitu tanja
Bab
yang paling menarik menurut saya. Sebab, menjeabarkan perbandingan kosakata
yang sering keliru dipakai pada saat berkomunikasi di kehidupan sehari-hari. Uda
Ivan sepertinya sengaja menyelipkan dua kosakata sebagai pembanding dari kata
baku, untuk membenarkan mana kata yang sesuai dengan KBBI dan yang tidak
sesuai. Contohnya kata praktik dan kata praktek, asal muasal kedua kata
tersebut sehingga lebih familiarnya kata praktek ketimbang kata praktik yang
lebih sesuai dengan PUEBI nya. Bukan hanya perbandingan kata baku dan tidak
baku saja, di bagian ini ada penjelasan metonimia di Indonesia yang sangat
familiar.
Saya
ambil contohnya pemakaian kata odol untuk
semua jenis merk pasta gigi.
Terakhir, bagian ketiga
Sebaai bagia terakhir di buku ini, lebih berpusat
perbedaan pelafalan huruf. Seperti pengucapan huruf F, P, dan V pada ucapan
lidah Indonesia.istilah-istilah perayaan asing yang melekat diucapan
sehari-hari, missal penggunaan kata Ahad atau Minggu, dan lain-lain.
Secara keseluruhan
buku ini cocok bukan hanya dibaca untuk kalangan pendidik saja atau praktisi
yang bergerak di bidang lingusitik.
Bogor, 26 Agustus 2020
Komentar