[REVIEW BOOK] Laut Bercerita Karya Leila S. Chudori


Ada kemarahan, ada benih dendam yang bertumbuhan begitu subur di setiap pori tubuhku. Tetapi aku tak tahu apakah aku bisa menunaikan dendam itu.

Sebuah repetisi yang saya temukan di halaman 150


Mengambil sudut peristiwa fenomena di tahun 1998, di mana masa pergolakan, krisis ekonomi, dan aspirasi sedang memuncak. Melihat fenomena di peristiwa itu saya bergumam sedang sibuk memikirkan apa yaa saya di tahun 1998?. Saya lahir tahun 1994, bila dihitung sekitar 3-4 tahun pada tahun 1998, namun cerita-ceritanya sudah saya enyam dan dengar pada usia duduk di kursi sekolah dasar. Belajar sejarah di kelas? bukan, mendengarkan tapi saya mendapat cerita peristiwa di kejadian 1998 dari alm nenek saya. Lebih lanjutnya lagi saya banyak membaca buku sejarah dari buku-buku saudara yang tinggal di kota, membaca buku zaman duduk di sekolah menengah atas dan menjadi haus sama sejarah semenjak kuliah. Sebab sastra dengan sejarah ada sebuah keterikatannya, apalagi bila membahas tentang latar psikologi tokoh dalam inti cerita.

Novel ini tak sepenuhnya saya cap sebagai fiksi semata saja, hmm lebih tepatnya fiksi yang berlatar sejarah. Di balik peristiwa zaman Orde Baru, sosok aktivis mahasiswa yang menjungkirbalikan sebuah pemerintahan yang terkenal dengan kepemimpinan yang otoriter. Zaman di mana aspirasi dibungkam, pemikiran dibatasi, dan obrolan dipantau. Sosok aktivis dalam novel ini bukan hanya seorang saja, melainkan menjadi penentu alur cerita dari kisah-kisahnya di bagian isi sampai akhir, Panulis mengomposisikan beberapa sudut pandang, bagian pertama tokoh utama bernama Biru Laut berhasil menjadi perantara cerita diakhiri di bagian terakhir sosok tokoh Asmara Jati adik dari Biru Laut menjadi penyambung jalan cerita, pada saat tokoh utama hilang hingga menjadi titik akhir perjalanan para aktivis di zaman setelah orde baru menuju reformasi.

Yang saya pikirkan pada saat membaca novel ini ialah mengenai pelajaran sejarah, di mana ada pembahasan yang saya tak dapati pada saat membahas tentang sejarah di bangku sekolah. Selama saya duduk di bangku sekolah mengenyam penjurusan IPS di sekolah menengah atas saya dapatkan sekarang dengan rajin membaca novel-novel yang bergenre kritik sosial. Seharusnya, para pelajar jangan hanya belajar sejarah hanya duduk di bangku sekolah saja, pelajar zaman sekarang harus banyak memiliki pertanyaan untuk guru, banyak pertanyaan untuk dirinya sendiri, sebab melihat di masa depan pelajar bukan hanya sebagai subjek dan guru bukan hanya sebagai katalisator dan fasilitator untuk murid. Ada yang sangat saya sayangkan setelah memiliki niat untuk membaca-baca lagi buku-buku berbau sejarah, andai saya membaca buku-buku sejarah ini di zaman duduk di bangku sekolah mengenah atas, pasti akan banyak pertanyaan untuk guru saya. Sebab, aktivitas ini sekadar mengisi dari segala rasa penasarannya saya terhadap pelajaran sejarah dan rasa bangganya saya sebagai warga negara Indonesia yang begitu majemuk.

Oke, kembali ke topik awal untuk mengulas novel ini, baiklah setelah menelaah sosok Laut yang dapat saya tanggap ialah sosok mahasiswa yang senang sekali kumpul berorganisasi, membahas isu-isu pemerintahan. Tapi, ada yang perlu digaris bawahi di sini, sikap keaktivisannya bersama teman-teman seperjuangannya tidak semulus yang dibayangkan. Laut menjadi tahanan, dipenjara dari satu pulau ke pulau lain bersama teman-temannya, menjadi tahanan politik di negaranya sendiri. Padahal jika dipikirkan dengan logika sikap seorang mahasiswa seperti itu menjadi hal yang sangat lumrah, sebab jiwa mahasiswa yang penuh dengan gelora dan jiwa idealisme. Berbeda di zaman orde baru, rezim terlamaaa selama pemerintahan Indonesia, 32 tahun bukan waktu yang sebentar, sangat lamaaa. Mungkin, di sini cikal bakal para mahasiswa memberontak, demo, membuka forum untuk membicarakan suatu kejadian dan membahas akan ke mana jalannya masa depan negara ini. 

Orde baru tumbang oleh para mahasiswa yang banyak sekali mengalami siksaan. Jika membaca novelnya ada suatu peristiwa aktivis tersebut dipenjara dan disiksa oleh aparat. Nah, di novel ini pula saya mengenal apa itu namanya Kamisan, sebuah kegiatan yang dilakukan oleh keluarga para korban mahasiswa yang hilang di kejamnya rezim orde baru. Selama bertahun-tahun keluarga korban mendatangi istana negara setiap di hari Kamis setiap hari, tak terhitung, sebagai bentuk keprihatinan dan kekecewaanya kepada pemerintah yang tak bisa memengembalikan anak-anak mereka setelah rezim orde baru tumbang.


Mahasiswa sekarang adakah yang memiliki jiwa seperti Laut?
orde baru ditumbangkan oleh mahasiswa, 
mahasiswa yang berpikir kritis memikirkan keberlanjutan nasib tanah yang dipijaknya,
mahasiswa yang berpikir kritis akan jadi apa nasib masyarakatknya di masa depan,
tak hanya sebagai penikmat produk luar,
melainkan yang lebih mencintai hasil produk negerinya sendiri,


Setelah selesai membaca novel ini, saya ketagihan untuk membaca novel-novel karya beliau lagi, next Novel Pulang akan saya baca dan ulas,,,,,



Komentar